MUNASABAH Al-Qur,an
Munasabah Al-Qur’an
Lahirnya pengetahuan tentang teori munasabah tampaknya berawal dari kenyataan bahwa Al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam mushaf Usmani sekarang tidak berdasarkan atas fakta kronologis turunnya. Sehubung dengan ini, ulama salaf berbeda pendapat tentang urutan surat di dalam Al-Qur’an. Segolongan dari mereka berpendapat bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi SAW. Golongan lain berpendapat bahwa hal itu didasarkan pada ijtihad para sahabat setelah bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqifi. Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surah Al-Anfal dan Bara’ah yang dipandang bersifat ijtihad.
Salah satu penyebab perbedaan pendapat adalah adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang bervariasi dalam urutan surahnya. Ada yang menyusunnya berdasarkan kronologis turunnya, seperti mushaf Ali yang dimulai dengan ayat Iqra’, kemudian sisanya disusun berdasarkan tempat turunnya (Makki kemudian Madani). Adapun mushaf Ibn Mas’ud dimulai dengan surah Al-Baqarah kemudian surah An-Nisa’ lalu surah Ali ‘Imran.
Pengertian Munasabah Al-Qur’an
Kata munasabah secara etimologi, menurut As-Suyuthi berarti al-musyakalah (keserupaan) dan al-muqarabah (kedekatan). Az-Zarkasyi memberi contoh sebagai berikut: fulan yunasib fulan, berarti si A mempunyai hubungan dekat dengan si B dan menyerupainya. Dari kata itu, lahir pula kata “an-nasib,” berarti kerabat yang mempunyai hubungan seperti dua orang bersaudara dan putra pamannya. Istilah munsabah diungkapkan pula dengan kata rabth (pertalian).
Menurut pengertian terminologi, munasabah dapat didefinisikan sebagai berikut:
Munasabah Az-Zarkasyi:
“Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.”
Menurut Manna’ Al-Qaththan:
“Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antarayat pada beberapa ayat, atau antar surat (di dalam Al-Qur’an).”
Menurut Ibn Al-‘Arabi:
“Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.”
Menurut Al-Biqa’i:
“Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Quran, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat.”
Jadi, dalam konteks Ulum Al-Quran, munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antarayat atau antarsurat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali); atau korelasi berupa sebab-akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan.
Cara Mengetahui Munasabah
Syekh ‘Izzudddin bin ‘Abd As-Salam berkata: “ Munasabah adalah sebuah ilmu yang baik, tetapi kaitan antarkalam mensyaratkan adanya kesatuan dan keterkaitan bagian awal dengan bagian akhirnya. Dengan demikian, apabila terjadi pada berbagai sebab yang berbeda, keterkaitan salah satunya dengan lainnya tidak menjadi syarat. Orang yang mengaitkan tersebut berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya. Kalaupun itu terjadi, ia mengaitkannya hanya dengan ikatan-ikatan lemah yang pembicaraan yang baik saja pasti terhindar darinya, apalagi kalam yang baik.”
As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu:
Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi obejk pencarian.
Memerhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memerhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.
Macam-Macam Munasabah
Dalam Al-Quran sekurang-kurangnya terdapat delapan macam munasabah, yaitu:
Munasabah antarsurat dengan surat sebelumnya
As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasabah antarsatu surat dengan surat sebelumnya berfungsi menerangkan atau menyempurnakan ungkapan pada surat sebelumnya. Sebagai contoh, dalam surat Al-Fatihah ayat 1 ada ungkapan alhamdulillah. Ungkapan ini berkorelasi dengan surat Al-Baqarah ayat 152 dan 186.
Munasabah antarnama surat dan tujuan turunnya
Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada namanya masing-masing, seperti surat Al-Baqarah, surat Yusuf, surat An-Naml dan surat Al-Jinn. Cerita lembu betina dalam surat surat Al-Baqarah, pada ayat 67-71 merupakan inti dari pembicaraannya, yaitu kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan perkataan lain, tujuan surat ini adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan kepada hari kemudian.
Munasabah antarbagian suatu ayat
Munasabah antarbagian surat sering berbentuk pola munasabah perlawanan, seperti dalam surat Al-Hadid ayat 4 yang artinya:
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian, Dia bersemayam di atas ‘Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Antara kata masuk dengan kata keluar, serta kata turun dengan kata naik terdapat korelasi perlawanan.
Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan
Munasabah antarayat yang terlihat jelas umumnya menggunakan pola ta’kid (penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan).
Munasabah antarayat yang menggunakan pola ta’kid yaitu apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak disampingnya. Munasabah antarayat menggunakan pola tafsir, apabila satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat disampingnya. Munasabah antarayat menggunakan pola i’tiradh apabila terletak satu kalimat atau lebih tidak ada kedudukannya dalam struktur kalimat, baik di pertengahan kalimat atau di antara dua kalimat yang berhubungan maknanya. Munasabah antarayat menggunakan pola tasydid apabila satu ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat yang terletak di sampingnya.
Munasabah antarayat yang tidak terlihat jelas dapat dilihat melalui qara’in ma’nawiyyah (hubungan makna) yang terlihat dalam empat pola munasabah, yaitu At-tanzi (perbandingan), Al-mudhadat (perlawanan), istithrad (penjelasan lebih lanjut), dan At-takhallush (perpindahan). Munasabah yang berpolakan At-tanzir terlihat pada adanya perbandingan antara ayat-ayat yang berdampingan. Munasabah yang berpolakan Al-mudhadat terlihat pada adanya perlawanan makna antara satu ayat makna yang lain yang berdampingan. Munasabah yang berpolakan istithtradh terlihat pada adanya penjelasan lebih lanjut dari suatu ayat. Selanjutnya, pola munasabah takhallush terlihat pada perpindahan dari awal pembicaraan pada maksud tertentu secara halus.
Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya
Dalam surat Al-Baqarah ayat 1-20, misalnya Allah memulai penjelasan-Nya tentang kebenaran dan fungsi Al-Qur’an bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya dibicarakan tiga kelompok manusia dan sifat-sifat mereka yang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.
Munasabah antarfashilah (pemisah) dan isi ayat
Macam munasabah ini mengandung tujuan-tujuan tertentu. Di antaranya adalah untuk menguatkan makna yang terkandung dalam suatu ayat. Dalam surat Al-Ahzab ayat 25, Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan; bukan karena lemah, melainkan karena Allah Mahakuat dan Mahaperkasa. Dengan adanya fashilah tersebut dimaksudkan agar pemahaman terhadap ayat tersebut menjadi lurus dan sempurna. Tujuan lainnya adalah memberi penjelasan tambahan, yang meskipun tanpa fashilah sebenarnya, makna ayat sudah jelas.
Munasabah antarawal surat dengan akhir surat yang sama
Contoh munasabah ini terdapat dalam surat Al-Qashas yang bermula dengan menjelaskan perjuangan Nabi Musa dalam berhadapan dengan kekejaman Fir’aun. Atas perintah dan pertolongan Allah, Nabi Musa berhasil keluar dari Mesir dengan penuh tekanan. Di akhir surat, Allah menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan janji Allah atas kemenangannya. Kemudian, jika di awal surat dikemukakan bahwa Nabi Musa tidak akan menolong orang kafir. Munasabah disini terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.
Munasabah antar-penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya
Jika diperhatikan pada setiap pembukaan surat, akan dijumpai munasabah dengan akhir surat sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Contohnya pada permulaan surat Al-Baqarah bermunasabah dengan akhir surat Al-Fatihah.
Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Munasabah
Para ulama bersepakat bahwa Al-Qur’an, yang diturunkan dalam tempo 20 tahun lebih dan mengandung bermacam-macam hukum karena sebab yang berbeda-beda, sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat, hingga tidak perlu lagi mencari asbab nuzulnya, karena pertautan satu ayat dengan ayat lainnya sudah bisa mewakilinya.
Kegunaan mempelajari ilmu munasabah :
Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Quran kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian lainnya.
Mengetahui atau persambungan/hubungan antara bagian Al-Quran, baik antara kalimat atau antarayat maupun antarsurat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Quran dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Quran dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain.
Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.Munasabah Al-Qur’an
Kesimpulan
Secara etimologi, munasabah berasal dari kata Al-musyakalah (keserupaan) dan Al-muqarabah (kedekatan). Secara terminologi, terdapat empat tokoh yang menjelaskan mengenai pengertian munasabah, salah satunya yaitu menurut Az-Zarkasyi “Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.”
Cara mengetahui munasabah yaitu terdapat empat cara, yang pertama harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian. Kedua, memerhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat. Ketiga, menentukan tingat uraian tersebut, apakah ada hubungannya atau tidak. Keempat, dalam mengambil kesimpulan, hendaknya memrhatikan ungkapan bahasa dengan benar dan tidak berlebihan.
Munasabah memilik delapan macam, yaitu munasabah antarsurat dengan surat sebelumnya, munasabah antarnama surat dengan tujuan turunnya, munasabah antarbagian suatu ayat, munasabah antarayat yang letaknya berdampingan, munasabah antarsuatu kelompok ayat dengan kelompok ayat disampingnya, munasabah antarfashilah dan isi ayat, munasabah antarawal surat dengan akhir surat yang sama, dan munasabah antarpenutup suatu surat dengan awal surat berikutnya.
Saran
Demikian makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi siapa saja yang membacanya. Tentu penulis menyadari akan kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,Rosihon. 2008. Ulum Al-Quran. Bandung:Pustaka Setia
Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Husni, Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Quran, terj. Rosihon Anwar, Pustaka Setia, Bandung, 1999, hlm. 305.
Komentar
Posting Komentar